Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Indonesia berpeluang menyebarkan bisnisnya sampai ke Malaysia. Sebanyak 800 pengusaha UKM siap berangkat ke negeri jiran tersebut pada 2-5 Oktober 2013.
Sebanyak 800 pelaku UKM ini diberangkatkan guna memperlihatkan pembelajaran kepada para pelaku UKM di luar negeri sehingga bisa membaca persaingan bisnis dan membuka peluang perjuangan di luar pasar Indonesia.
"Harapannya, para UKM bisa siap bersaing menghadapi Asean Economic Community (AEC) 2015, para pelaku UKM juga diperlukan sanggup melihat peluang untuk memasarkan produk Indonesia di Malaysia," ujar Asisten Presiden Direktur PT Sinde Budi Sentosa, Jony Yuwono, selaku pihak yang memberangkatkan para UKM ini, Rabu (2/10).
Menurut data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, 99,99% dari total perjuangan di Indonesia yakni UKM yang tercatat berjumlah 56 juta. UKM sebanyak itu sudah menyerap 107 juta tenaga kerja atau 97,16% dari total tenaga kerja di Indonesia dan menyumbang Rp 4,3 triliun atau 58% persen terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) 2011.
"Di 2015 tidak ada lagi kata-kata belum siap untuk menghadapi AEC, UKM merupakan salah satu kunci keberhasilan pertumbuhan ekonomi Indonesia, untuk itu UKM diperlukan bisa bersaing," ungkap Menteri UKM Syarief Hasan.
Syarief mengatakan, tekanan ekonomi global yang menimbulkan lemahnya rupiah menjadi salah satu faktor UKM di Indonesia masih kalah dengan UKM China, India dan Amerika Serikat.
Meski demikian tekanan ekonomi global yang mengakibatkan melemahnya rupiah, diperlukan tidak menyurutkan semangat para pengusaha UKM untuk terus menyebarkan lini usahanya.
"Meski kita masih dibawah, China, India dan Amerika, namun UKM Indonesia masih bisa bersaing dan masih menjadi market leader di pasar domestik," kata Syarief.
Sebagai catatan, jumlah UKM di Indonesia ketika ini memang terbilang cukup banyak. Dirjen Industri Kecil dan Menengah (IKM) Kementerian Perindustrian Euis Saedah menyebutkan, sampai ketika ini jumlah IKM di Indonesia mencapai 4 juta IKM. Dari angka tersebut, 40% merupakan IKM makanan, 30% IKM kerajinan, sementara sisanya dibagi-bagi ke dalam IKM komponen otomotif, minyak essential, fashion, teknologi informasi, aksesoris, pupuk, dan lain-lain.
“Dari total IKM yang ada, hanya di bawah 5% yang bisa menembus pasar ekspor. Potensi ekspor dari 4 juta, mungkin paling banyak 25 ribu unit IKM,” ujar Euis belum usang ini.
Dia menjelaskan, faktor utama hambatan sulitnya IKM dalam negeri untuk bisa menembus pasar ekspor yakni harga yang tidak kompetitif. Menut Euis, secara kualitas produk-produk IKM dalam negeri memang jauh lebih baik kualitasnya, namun secara harga tidak kompetitif alasannya yakni tidak ada insentif dari pemerintah berupa modal. Artinya, dalam hal IKM Indonesia masih kalah dibanding Thailand dan Vietnam.
“Memang tidak sederhana, peluang besar untuk bisa masuk ekspor sulit. Negara yang kompetitif Thailand dan Vietnam, kualitas manis dan harga murah. Kalau kita memang kualitas dan desain kita manis walaupun harga kurang berdaya saing alasannya yakni biaya distribusi mahal, transportasi, energi dan tenaga kerja. Thailand dan Vietnam mereka banyak subsidi dari pemerintah pribadi modal, kita bisa subsidi tapi di peralatan saja dan itu tidak sepenuhnya. Kita untuk subsidi modal sulit alasannya yakni masih susah bunganya tinggi,” paparnya.
Sebanyak 800 pelaku UKM ini diberangkatkan guna memperlihatkan pembelajaran kepada para pelaku UKM di luar negeri sehingga bisa membaca persaingan bisnis dan membuka peluang perjuangan di luar pasar Indonesia.
"Harapannya, para UKM bisa siap bersaing menghadapi Asean Economic Community (AEC) 2015, para pelaku UKM juga diperlukan sanggup melihat peluang untuk memasarkan produk Indonesia di Malaysia," ujar Asisten Presiden Direktur PT Sinde Budi Sentosa, Jony Yuwono, selaku pihak yang memberangkatkan para UKM ini, Rabu (2/10).
Menurut data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, 99,99% dari total perjuangan di Indonesia yakni UKM yang tercatat berjumlah 56 juta. UKM sebanyak itu sudah menyerap 107 juta tenaga kerja atau 97,16% dari total tenaga kerja di Indonesia dan menyumbang Rp 4,3 triliun atau 58% persen terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) 2011.
"Di 2015 tidak ada lagi kata-kata belum siap untuk menghadapi AEC, UKM merupakan salah satu kunci keberhasilan pertumbuhan ekonomi Indonesia, untuk itu UKM diperlukan bisa bersaing," ungkap Menteri UKM Syarief Hasan.
Syarief mengatakan, tekanan ekonomi global yang menimbulkan lemahnya rupiah menjadi salah satu faktor UKM di Indonesia masih kalah dengan UKM China, India dan Amerika Serikat.
Meski demikian tekanan ekonomi global yang mengakibatkan melemahnya rupiah, diperlukan tidak menyurutkan semangat para pengusaha UKM untuk terus menyebarkan lini usahanya.
"Meski kita masih dibawah, China, India dan Amerika, namun UKM Indonesia masih bisa bersaing dan masih menjadi market leader di pasar domestik," kata Syarief.
Sebagai catatan, jumlah UKM di Indonesia ketika ini memang terbilang cukup banyak. Dirjen Industri Kecil dan Menengah (IKM) Kementerian Perindustrian Euis Saedah menyebutkan, sampai ketika ini jumlah IKM di Indonesia mencapai 4 juta IKM. Dari angka tersebut, 40% merupakan IKM makanan, 30% IKM kerajinan, sementara sisanya dibagi-bagi ke dalam IKM komponen otomotif, minyak essential, fashion, teknologi informasi, aksesoris, pupuk, dan lain-lain.
“Dari total IKM yang ada, hanya di bawah 5% yang bisa menembus pasar ekspor. Potensi ekspor dari 4 juta, mungkin paling banyak 25 ribu unit IKM,” ujar Euis belum usang ini.
Dia menjelaskan, faktor utama hambatan sulitnya IKM dalam negeri untuk bisa menembus pasar ekspor yakni harga yang tidak kompetitif. Menut Euis, secara kualitas produk-produk IKM dalam negeri memang jauh lebih baik kualitasnya, namun secara harga tidak kompetitif alasannya yakni tidak ada insentif dari pemerintah berupa modal. Artinya, dalam hal IKM Indonesia masih kalah dibanding Thailand dan Vietnam.
“Memang tidak sederhana, peluang besar untuk bisa masuk ekspor sulit. Negara yang kompetitif Thailand dan Vietnam, kualitas manis dan harga murah. Kalau kita memang kualitas dan desain kita manis walaupun harga kurang berdaya saing alasannya yakni biaya distribusi mahal, transportasi, energi dan tenaga kerja. Thailand dan Vietnam mereka banyak subsidi dari pemerintah pribadi modal, kita bisa subsidi tapi di peralatan saja dan itu tidak sepenuhnya. Kita untuk subsidi modal sulit alasannya yakni masih susah bunganya tinggi,” paparnya.
0 comments:
Post a Comment